-
- Sabtu, 31 Agustus 2013 14:47
- Ditulis oleh Militan Indonesia
Berikut ini adalah dokumen diskusi situasi nasional yang dipersiapkan
untuk Sekolah Marxis Militan pada 16-17 Agustus 2013, yang memberikan gambaran
perspektif politik di Indonesia.
Pendahuluan
Selama beberapa tahun terakhir, perekonomian Indonesia mengalami
pertumbuhan yang luar biasa, yakni di atas 6% selama 3 tahun berturut-turut. Ini
terjadi di tengah perekonomian dunia yang sedang lesu dan dilanda krisis.
Pertumbuhan ekonomi ini memberikan kepercayaan diri kepada kelas penguasa di
Indonesia untuk terus menerapkan kebijakan-kebijakan kapitalisnya (seperti
kenaikan BBM, penerapan MP3EI, dan lolosnya RUU Ormas), dan juga pada tingkatan
tertentu memberikan legitimasi pada pemerintahan ini. Kendati dilanda oleh
berbagai skandal, korupsi, dan mis-manajemen, kendati popularitasnya sangat
rendah di antara rakyat pekerja, pemerintahan SBY masih bercokol dan tampaknya
akan dapat menyelesaikan masa jabatannya.
Akan tetapi mimpi indah ini akan segera berakhir. Para ahli strategi kapital
telah memberikan peringatan yang penuh kekhawatiran mengenai laju ekonomi
Indonesia pada awal bulan Agustus ini. Koran
The Wall Street Journal,
pada 2 Agustus, dalam artikel yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Melamban” menulis:
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melamban pada kuartal kedua tahun ini,
dan
memperbesar tekanan terhadap pemerintah untuk membuat
kebijakan-kebijakannya lebih ramah bagi para investor sebelum pemilu tahun depan
ini. ... Ini menandai kuartal keempat perlambanan pertumbuhan secara
berturut-turut dan pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir dimana pertumbuhan
jatuh di bawah 6%.”
Perlambatan ekonomi ini bukanlah fenomena yang terpisah dan unik untuk
Indonesia saja, tetapi merupakan bagian dari sebuah proses global. Pada sampul
depan majalah
The Economist kita temui gambar empat pelari cepat
(Brasil, Rusia, India, dan China, yang kerap disebut BRIC) yang berlari di atas
pasir hisap, dengan tajuk utama “The Great Deceleration” (“Perlambatan yang
Hebat”). Keempat negara ini tumbuh pesat selama 2 dekade terakhir, menaiki
gelombang book ekonomi kapitalis. Namun dengan melambannya perekonomian dunia
akibat krisis yang tak kunjung selesai, basis pertumbuhan bagi BRIC – dan juga
negeri-negeri berkembang seperti Indonesia dan Turki – juga mulai menghilang.
Pada 2007, ekonomi China tumbuh sebesar 14,2%. India 10,1%, Rusia 8,5%, dan
Brasil 6,1%. Hari ini, IMF memproyeksikan China hanya akan tumbuh 7,5%, India
5,6%, Rusia dan Brasil 2,5%.
Penjelasan ini dapat kita temui dalam lembar-lembar karya Marx dan Engels,
yakni overproduksi. Ledakan boom kapitalis pada 2 dekade terakhir justru adalah
alasan mengapa krisis kapitalis kali ini sangatlah dalam. BRIC menjadi penyedia
tenaga kerja murah dan bahan mentah murah untuk pertumbuhan ekonomi periode
sebelumnya, dan menciptakan krisis over produksi yang sekarang menghantam
seluruh perekonomian dunia. Tidak ada satupun ekonomi yang bisa luput dari
krisis dunia ini.
Pada akhirnya, analisa ekonomi kita bukanlah pekerjaan akademis. Kita
tertarik pada analisa ekonomi bukan supaya kita tampak pintar, tetapi agar kita
dapat memahami proses perkembangan perjuangan kelas yang sedang bergulir. Tidak
ada hubungan yang mekanis tentunya antara ekonomi dan kesadaran kelas.
Hubungannya dialektis, dan ini yang harus kita kuak supaya dapat mencapai
pemahaman umum akan laju dan tempo perjuangan kelas, dan bagaimana kita dapat
mengorientasikan diri kita secara politik dan organisasional.
Ekonomi Indonesia dan Gerakan Buruh
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain memberikan kepercayaan diri dan
legitimasi sementara kepada kelas kapitalis, juga memiliki efek yang besar pada
perkembangan kelas buruh. Pada beberapa tahun terakhir, kita saksikan investasi
asing besar yang masuk ke Indonesia. Investasi asing yang besar ini mengalir
deras ke Indonesia justru ketika ekonomi dunia sedang kesulitan. Di satu artikel
analisa kita, kita menulis:
“Indonesia bisa terus tumbuh pesat pada periode krisis ini bukanlah karena
keunggulan para kapitalis Indonesia dibandingkan para kapitalis Eropa yang
ekonominya sekarang terseok-seok, atau karena hebatnya dan pintarnya para
penjabat kita. Justru krisis ekonomi dunia lah yang merupakan alasan mengapa
ekonomi Indonesia bisa mencetak pertumbuhan 5-6%. Di hampir semua negeri-negeri
kapitalis maju, kemandegan ekonomi berarti bahwa tidak ada lagi profit besar
yang bisa mereka dapatkan dengan berinvestasi di negeri mereka masing-masing. Di
Kanada, korporasi-korporasi besar duduk di atas tumpukan uang sebesar $500
milyar yang tidak mereka investasikan, sampai-sampai Gubernur Bank Kanada, Mark
Carnery, mengkritik perusahaan-perusahaan tersebut agar menggunakan uang ini
untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang hari ini sangat dibutuhkan.
Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyimpan cadangan uang sebesar $5000
milyar – yakni 5 kali lipat dari ekonomi Indonesia – yang tidak mereka gunakan.
Begitu juga di seluruh Eropa. Tidak semua kapital ini duduk diam. Sebagian kecil
kapital ini lalu mencari lahan investasi yang masih dapat memberikan keuntungan,
dan Indonesia adalah salah satu lahan subur tersebut. Gaji buruh yang murah,
serikat buruh yang relatif lemah karena baru lahir kembali setelah 1998,
infrastruktur yang cukup kondusif; inilah beberapa alasan utama yang menyebabkan
masuknya investasi asing yang besar. Pada 2009, investasi asing hanya sebesar
$4,9 milyar, lalu menjadi $18,9 milyar pada 2011, dan lalu $23 milyar pada 2012.
Inilah sumber dari pertumbuhan ekonomi 6% selama beberapa tahun terakhir ini,
yakni meningkatnya investasi asing yang berarti juga semakin diperasnya nilai
lebih dari keringat buruh.” (Sedikit evaluasi dari Kegagalan Kita, 2 Juli
2013)
Marx mengatakan, dengan semakin tumbuhnya kapitalisme, maka semakin besar
pula kelas proletariat. Ia mengatakan “Kapitalisme menciptakan penggali liang
kuburnya sendiri.” Dengan membangun lebih banyak pabrik, maka kapitalisme
menciptakan batalion-batalion proletar yang lebih besar. Di Indonesia, pada 2011
terjadi pertumbuhan di sektor suku cadang otomotif sebesar 29,8 persen. Begitu
juga di banyak sektor industri berat lainnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan
kalau tahun 2012 adalah tahunnya gerakan buruh: gelombang pemogokan dan demo
buruh, May Day raksasa 2 tahun berturut-turut, terbentuknya MPBI, sweeping dan
grebek pabrik, kelas-kelas ekopol berjamuran, dan Getok Monas.
Namun gerakan buruh bukanlah sesuatu yang bergerak dalam garis lurus, yang
dapat terus naik. Pasang naik dan surut adalah sesuatu yang wajar. Belakangan
ini memang sudah terlihat penurunan mobilisasi ini. Indikasinya adalah
ketidakmampuan gerakan buruh untuk menghentikan kenaikan BBM dan RUU Ormas.
Namun ini bukan karena massa buruh yang tidak berani. Ini adalah persoalan
kepemimpinan. Radikalisasi massa buruh – terutama yang ada di dalam
serikat-serikat besar – terbentur dengan kepemimpinan mereka. Adalah sebuah
hukum di dalam gerakan buruh dimanapun, bahwa dengan semakin radikalnya massa
buruh maka akan menjadi semakin konservatif pemimpin mereka. Ini bahkan dapat
terjadi di antara serikat-serikat yang katanya “merah”.
Bila pada tahun lalu pemogokan, demo, dan mogok nasional dapat memaksa
kapitalis dan pemerintah untuk memenuhi tuntutan buruh, maka hari ini konsensi
semacam itu akan semakin sulit didapati. Tekanan dari perekonomian dunia yang
sedang mengalami krisis berarti bahwa akan semakin menjadi mustahil bagi buruh
untuk dapat hidup sejahtera. Periode yang sedang kita masuki adalah periode
penghematan, periode pemangkasan, dan ini juga benar di Indonesia. Taktik-taktik
pemogokan biasa sudah tidak lagi memadai. Kita bisa melihat Yunani, dimana sudah
terjadi 29 pemogokan umum nasional dalam 3 tahun terakhir, dan ini sama sekali
tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat pekerja Yunani. Dalam periode
ke depan, kemenangan-kemenangan yang diraih buruh tahun lalu akan semakin sulit
didapati. Buruh luas akan belajar bahwa mereka harus menggunakan taktik-taktik
yang lebih radikal, dan mengadopsi perspektif politik yang lebih revolusioner.
Buruh luas akan belajar, dan mereka akan belajar dengan cepat.
Di sisi lain, para pemimpin reformis di dalam serikat-serikat buruh justru
akan menjadi semakin kecut. Mereka akan menjadi penghambat yang semakin besar
bagi perkembangan kesadaran kelas para anggota mereka. Ketika kapitalisme sudah
terseok-seok dan hidup segan mati tak mau, para pemimpin reformis justru akan
merangkul kapitalisme dengan lebih bersemangat. Trotsky mengatakan,
pengkhianatan adalah implisit di dalam reformisme. Ini bukan karena para
pemimpin reformis tersebut tidak jujur, tidak amanah (walau ada juga yang memang
tidak amanah), tidak tulus dalam pembelaan mereka terhadap buruh. Ini karena
mereka percaya bahwa dalam batas-batas kapitalisme maka buruh bisa sejahtera.
Kalau kau mempercayai kapitalisme, maka kau akan didikte oleh logika kapitalisme
dan akan jadi pelayan kepentingan kapitalis secara sadar atau tidak. Justru yang
paling berbahaya adalah pemimpin reformis yang benar-benar jujur dan amanah.
Mereka sungguh-sungguh jujur dan tulus ingin membela buruh, dan oleh karenanya
meraih kepercayaan yang besar dari buruh. Namun dengan tulus pula mereka akan
menyeret kelas buruh ke dalam kekalahan karena paham reformismenya.
Di masa mendatang akan terjadi penajaman konflik antara elemen
radikal-revolusioner dan elemen konservatif-reformis di dalam serikat-serikat
buruh besar seperti MPBI. Proses konflik ini akan terjadi secara tertutup dan
terbuka, tetapi tidak ada penyangkalan kalau proses ini sedang terjadi. Kita
akan saksikan krisis di dalam serikat-serikat buruh ini, dimana para anggota
yang semakin radikal berbenturan dengan para pemimpin reformis-konservatif yang
mengekang mereka. Ini akan menjadi proses pembelajaran berikutnya bagi buruh
luas.
Pemilu 2014
Pada pemilu mendatang, jelas tidak ada satupun partai politik yang mewakili
kepentingan kelas buruh. Partai-partai yang turut serta semua adalah
partai-partai kelas borjuasi. Namun pernyataan umum ini tidak akan membantu kita
sama sekali untuk memahami proses yang lebih dalam, terutama berkaitan dengan
radikalisasi buruh yang terjadi 18 bulan terakhir ini.
Meledaknya gerakan buruh telah mendorong kelas buruh sebagai kekuatan politik
riil di dalam percaturan politik Indonesia. Ini adalah kenyataan yang harus
diakui bahkan oleh elit-elit politik borjuasi. Penampakan kekuatan buruh sebagai
kekuatan yang teorganisir tidak bisa diabaikan oleh partai-partai politik
borjuis yang sedang mencari dukungan untuk pemilu yang akan datang.
Manuver-manuver sedang dilakukan oleh berbagai partai politik untuk memenangkan
dukungan buruh.
Di sisi lain, buruh juga menjadi semakin percaya diri. Setelah melihat apa
yang bisa mereka lakukan dan capai lewat serikat buruh mereka dan aksi massa,
bahwa mereka telah menjadi kekuatan politik yang tidak bisa dianggap remeh
karena berhasil mendorong pemerintah dan kapitalis untuk memenuhi sejumlah
tuntutan mereka, tidak heran kalau buruh mulai melirik ke arena politik sebagai
satu arena lain untuk perjuangan mereka. Tidak cukup di pabrik saja, buruh mulai
merasa bahwa mereka harus ke luar dari gerbang pabrik dan masuk ke gerbang
parlemen. Ini merupakan bagian dari proses perkembangan kesadaran kelas
buruh.
Akan tetapi, kenyataannya adalah buruh Indonesia hari ini belum memiliki
kendaraan politik mereka sendiri. Tidak ada partai buruh massa di Indonesia.
Kendati demikian, harapan buruh hari ini untuk “go politik” tidak dapat menunggu
terbentuknya partai buruh massa. Sejumlah aktivis buruh sudah mulai mendaftarkan
diri mereka sebagai caleg lewat sejumlah partai borjuasi (seperti PDI-P, PAN,
PPP, PKS) dan mendapatkan dukungan dari sejumlah lapisan buruh. Ada sedikit
kenaifan dari para buruh ini, yang juga lahir karena kemenangan yang mereka
cicipi satu tahun terakhir. Buruh sungguh-sungguh percaya bahwa mereka akan bisa
mempertahankan kemandirian kelas para caleg buruh mereka walaupun mereka
bergabung dengan partai borjuasi.
Kemandirian kelas dari para perwakilan buruh akan dapat tercapai bila buruh
punya kendaraan politik mereka sendiri, yang dikontrol secara demokratis oleh
buruh sendiri. Tentunya keberadaan partai buruh saja tidak memberikan jaminan
100% akan kemandirian kelas dari para pemimpinnya. Kita cukup lihat apa yang
sekarang terjadi di dalam Partai Buruh Brasil (PT), dimana para pemimpinnya
telah melakukan kebijakan kolaborasi kelas dengan borjuasi.
Kehendak buruh untuk
go politic harus kita salurkan pada slogan
“Bentuk Partai Buruh dari buruh, oleh buruh, dan untuk buruh”, bukan dengan
membonceng partai politik borjuasi. Ini harus kita jelaskan kepada buruh
dengan sabar. Yang pasti, ini akan menjadi proses pembelajaran bagi
buruh. Sementara, kita kaum revolusioner tidak boleh terjebak pada oportunisme,
dan lalu mendukung kebijakan membonceng partai politik borjuasi. Kita harus
dengan sabar menjelaskan bahwa ini adalah langkah yang keliru, walaupun
penjelasan kita mungkin awalnya tidak populer di antara buruh. Kita harus
menjelaskan dengan cara yang santun dan penuh kesabaran, tetapi tegas dalam
prinsip. Seperti kata Lenin, “Menjelaskan dengan sabar”.
Munculnya fenomena Jokowi-Ahok merupakan gejala dari krisis perpolitikan yang
akut di Indonesia. Rakyat Indonesia memimpikan akan munculnya seorang pemimpin
ideal yang dalam khasanah mistisisme politik Jawa disebut “Satrio Piningit”,
yakni seorang pemimpin yang mampu membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
Perspektif mistik seperti ini mencerminkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia
sedang putus asa dengan perilaku politik kaum borjuis. Tidak ada satupun partai
atau tokoh politik yang dapat menangkap imajinasi rakyat pekerja. Pada pemilihan
presiden mendatang, survey demi survey menunjukkan bahwa tokoh-tokoh politik
utama di Indonesia sama sekali tidak punya dukungan besar, sementara Jokowi
mendapatkan dukungan luas. Pada survey baru-baru ini pada bulan Juli, tingkat
elektibilitas Jokowi mencapai 32,4 persen, sementara di ranking kedua adalah
Prabowo dengan 8,2%, lalu diikuti Wiranto 6,7%; Dahlan Iskan 6,3%; Megawati
6,1%, dan Bakrie 3,3%. Inilah potret kebangkrutan politik di Indonesia.
Akan menjadi kegiatan yang sia-sia bagi kita untuk meramalkan apakah Jokowi
akan ikut pilpres atau tidak. Yang lebih penting adalah memahami bahwa naiknya
popularitas Jokowi adalah gejala dari pembusukan politik yang terjadi di
Indonesia. Ada krisis kepemimpinan di Indonesia. Rakyat sedang resah. Mereka
tidak bisa menunggu datangnya Partai Bolshevik dan Lenin, dan akan
mengekspresikan gairah politik mereka lewat saluran manapun yang mereka temui.
Harapan massa terhadap Jokowi akan segera hancur ketika mereka melihat
ketidakberdayaan Jokowi untuk menyelesaikan masalah-masalah rakyat, seperti
halnya Obama-mania berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Di momen krisis
kapitalis yang paling besar ini, pilihannya hanya ada dua: kebijakan penghematan
kapitalis atau sosialisme.
Krisis Kepemimpinan Revolusioner Proletariat
Ada sejumlah tema umum yang bisa kita lihat dari sini: (1) Hari ini
partai-partai borjuis di Indonesia tengah mengalami jalan buntu, dan partai
penguasa sedang kebingungan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang
hampir meledak (persoalan kebutuhan dasar, carut marut politik, bobroknya
institusi hukum, dll.); (2) ketidakpuasan yang meningkat dari seluruh masyarakat
terhadap pemerintah; dan (3) kesadaran kelas yang sedang berkembang di kalangan
proletariat dan kesiapannya untuk melakukan aksi-aksi revolusioner. Semua ini
akan menciptakan situasi yang meledak-ledak di Indonesia, dengan opini publik
yang berayun-ayun secara cepat dan mendadak, ke kiri dan bahkan ke kanan.
Absennya kepemimpinan revolusioner proletariat akan menciptakan periode gejolak
yang berkepanjangan.
Trotsky mengatakan: “Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan
oleh sebuah krisis historis kepemimpinan proletariat”. Karena inilah maka
periode yang kita masuki selanjutnya di Indonesia dan juga dunia akan penuh
dengan gejolak yang berkepanjangan, dengan fenomena-fenomena politik yang unik
dan partikular. Kita harus siap menghadapi ini dan tidak terkejut serta
kebingungan.
Tugas kita masih sama semenjak jamannya Marx, yakni membangun kepemimpinan
revolusioner. Tugas ini menjadi semakin mendesak hari ini ketika kapitalisme
sedang memasuki krisisnya yang paling dalam. Perjuangan kelas buruh bukan hanya
melawan kaum kapitalis di luar, tetapi melawan gagasan-gagasan asing di dalam
tubuh gerakan buruh itu sendiri. Disinilah tendensi Marxis -- yakni partai kader
Marxis -- menjadi krusial di dalam gerakan buruh. Kader-kader Marxis harus giat
dan sabar menjelaskan kepada buruh bahwa jalan satu-satunya adalah menumbangkan
kapitalisme dan bergerak menuju sosialisme. Sebuah perekonomian yang
ternasionalisasi, yang direncanakan secara demokratis oleh buruh, akan dapat
menyelesaikan permasalahan pengangguran dan kemiskinan yang melanda Indonesia.
Kita harus jelaskan bagaimana krisis kapitalisme dapat terjadi dan apa jalan
keluarnya. Kita harus bisa menjelaskan berbagai peristiwa politik -- nasional
dan internasional – kepada kaum buruh yang mulai bertanya-tanya, dan memberikan
kesimpulan revolusioner yang dibutuhkan. Inilah tugas dari organisasi
Marxis.
Reformisme jelas masih mewarnai pemikiran banyak buruh. Dalam periode
kebingungan seperti saat ini, gagasan-gagasan reformis terlihat mujarab, sebagai
obat sesaat bagi organisasi-organisasi buruh. Reformisme ini mengambil berbagai
bentuk, dari tendensi “superaktivisme”, pengabaian pendidikan politik dan
pembangunan kader, dan kepercayaan bahwa buruh akan bisa sejahtera di bawah
kapitalisme. Gagasan-gagasan baru yang terlihat ”kreatif”, yang menawarkan
Sosial Demokrasi untuk mengatasi kelumpuhan ideologis dan politik gerakan buruh
selama ini—dengan metode parlementer dan kolaborasi kelas, yang menganggap bahwa
perjuangan buruh melalui mekanisme parlementer merupakan suatu cara yang
diperlukan untuk mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme—masih
merupakan ilusi yang kental di antara buruh. Ilusi terhadap reformisme ini
menjadi semakin sulit dipertahankan ketika kapitalisme sedang memasuki krisis,
namun proses ini tidak otomatis. Kita harus bergerak untuk menjelaskan kepada
buruh batas-batas dari reformisme dan perlunya gagasan Marxis.
Dengan radikalisasi buruh dan kaum muda di Indonesia, yakni sebuah proses
yang juga terjadi di hampir seluruh sudut dunia, kaum Marxis tidak kekurangan
elemen-elemen yang bisa kita menangkan ke dalam barisan kita. Dengan gagasan
kita, dengan kepercayaan revolusioner kita akan masa depan sosialisme, kita akan
bangun kepemimpinan revolusioner proletariat yang dibutuhkan.